IIHIDAYAT.COM: Cerpen
[Cerpen] Hiraeth dan Pertempuran Dalam Aliran Waktu

[Cerpen] Hiraeth dan Pertempuran Dalam Aliran Waktu

Kesatria berzirah besi
Photo by Henry Hustava on Unsplash

Dalam malam yang hening di Kota Canias, Hiraeth duduk di hadapan sekelompok penduduk kota yang penasaran. Di bawah cahaya lilin yang berkedap-kedip, dia mulai menceritakan sebuah kisah dari masa lalunya, sebuah pertempuran yang tidak terlupakan.

"Terjadi pertempuran hebat di sebuah kerajaan bernama Edenia," Hiraeth memulai, suaranya bergetar dengan kenangan. "Kerajaan Edenia, sebuah negeri yang subur dan makmur, diserang oleh Kekaisaran Hellanesia yang haus kekuasaan. Edenia dikenal dengan kebijaksanaan, kedamaiannya, serta keindahan alamnya, sementara Hellanesia terkenal dengan kekuatan militernya yang brutal. Konflik ini tidak terelakkan sejak Hellanesia mulai mengincar sumber daya alam Edenia yang melimpah."

Dia berhenti sejenak, mengingat wajah-wajah teman seperjuangannya. "Aku berjuang bersama pasukan Edenia, dipimpin oleh Raja Aldaryc yang bijaksana dan Jenderal Kysea yang pemberani. Aldaryc, dengan jubah putihnya yang berkibar, selalu menjadi sumber inspirasi bagi kami. Dia memiliki karisma yang mampu membangkitkan semangat juang pasukannya. Sementara Kysea, dengan pedang kembarnya yang mematikan, adalah sosok yang tidak kenal takut di medan perang. Dia selalu berada di garis depan, memimpin pasukan dengan keberanian yang luar biasa."

Hiraeth melanjutkan, "Di sisi lain, pasukan Hellanesia dipimpin oleh Kaisar Kessayr yang kejam dan licik. Kessayr, dengan baju zirah hitamnya yang menakutkan, adalah sosok yang haus darah dan kekuasaan. Dia tidak segan-segan mengorbankan pasukannya sendiri untuk mencapai tujuannya."

"Setiap langkah yang diambil, setiap helaan napas, adalah bagian dari perjuangan kami. Rasa sakit dan beban menjadi teman setia di medan pertempuran tersebut, mengikuti para kesatria seperti bayangan yang tidak pernah lepas. Kami berjuang mati-matian melawan pasukan musuh yang terlalu kuat, kejam, dan berat untuk dihadapi."

Dia berhenti sejenak, menghela napas panjang, mengenang masa-masa sulit itu. "Ketika keheningan akhir pertempuran mulai tiba, debu dan asap mulai mereda, meninggalkan genangan merah di mana-mana, bagai langit yang telah menumpahkan warna kengerian pada pertempuran yang terjadi. Kami menemukan diri kami di antara trauma yang menggelayuti hati dan pikiran. Trauma yang menjadi saksi bisu dari setiap luka yang diterima, dari setiap teman yang gugur di medan tempur. Itu adalah salah satu kenangan yang tidak bisa aku hapus, meski aku berusaha melupakannya. Perasaan takut datang bagai hantu, terus mengikuti dan menghantuiku. Begitu banyak ketakutan yang hadir—di saat aku belum memahami sepenuhnya mengenai sesuatu di dalam diriku."

Hiraeth melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, "Namun, aku belajar. Belajar memahami apa yang terjadi di sekitarku. Aku belajar bertahan dari rasa takut, belajar menghadapi ketakutan terbesar yang aku miliki, dan aku belajar membebaskan diri dari belenggu pertempuran dalam kehidupan."

Mata Hiraeth menyapu sekeliling, bertemu dengan tatapan penuh perhatian para pendengar. "Bayangan pertempuran tidak dapat dihilangkan. Namun, aku memilih untuk melihatnya sebagai tanda keberhasilan. Sebagai bukti bahwa kami telah bertarung dengan gagah berani, bahwa kami telah bertahan dalam salah satu pertempuran terberat yang pernah dihadapi dan menjadikannya kenangan berharga. Kami berhasil memenangkan pertempuran dan membuat mundur Kekaisaran Hellanesia. Meski luka-luka yang tidak nampak ini tidak pernah sembuh, meski ketakutan menghinggapi, kami tetap berjalan, tetap maju, hingga mencapai kemenangan."

Suara Hiraeth semakin lembut, namun penuh makna. "Akhir sebuah pertempuran bukanlah akhir dari segalanya. Itu adalah awal dari perjalanan baru. Setiap luka yang kita dapatkan, setiap kenangan yang kita bawa, adalah bagian dari diri kita. Mereka membentuk siapa kita dan memberi kita kekuatan untuk menghadapi masa depan."

Hiraeth menutup ceritanya dengan senyuman kecil. "Ini adalah pelajaran yang aku bawa dari Edenia. Bahwa dalam setiap perjuangan, selalu ada harapan. Dan dalam setiap akhir, selalu ada awal yang baru."

Seorang pria bertanya pada Hiraeth, "Apakah ada kebenaran dalam kisah tersebut? Aku tidak yakin dengan apa yang kamu ceritakan, aku pernah mendengar bahwa dahulu canias adalah bagian dari kekaisaran Hellanesia yang telah runtuh, namun itu sudah lama sekali. Jika memang kisah itu benar, bagaimana kamu dapat hidup selama itu?"

Hiraeth terdiam sejenak, tatapannya tertuju pada api lilin yang berkedip-kedip. Wajahnya yang biasanya tenang kini dibayangi oleh keraguan. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya dan menatap pria itu dengan binar mata yang dalam.

"Kebenaran, seperti halnya waktu, adalah konsep yang cair dan berubah-ubah, tidak memiliki kepastian, begitu rumit, dan sering kali terbungkus dalam lapisan aliran waktu itu sendiri" Hiraeth memulai dengan suara yang pelan namun tegas. "Apa yang kamu anggap sebagai kebenaran hari ini, mungkin berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang lain, atau bahkan kebenaran yang akan kamu temukan di hari esok."

Dia menghela napas, seolah sedang menimbang kata-katanya. "Kisah yang aku ceritakan adalah kebenaran dari sudut pandangku, dari pengalaman yang aku jalani. Aku tidak bisa membuktikan kebenarannya dengan bukti fisik yang bisa kamu sentuh atau lihat, bukti-bukti itu hanya ada di dalam diriku. Namun, aku percaya bahwa kebenaran sejati tidak selalu dapat diukur dengan standar duniawi, karena waktu dan takdir adalah sebuah konsep yang sulit dijelaskan."

Hiraeth menatap pria itu dengan tatapan yang tajam. "Adapun tentang bagaimana aku bisa hidup selama ini, itu adalah misteri yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya paham. Aku terjebak dalam pengembaraan, Aku telah menyaksikan banyak hal, mengalami banyak perubahan, dan mempelajari begitu banyak pembelajaran sepanjang perjalanan panjangku—belajar dari kenangan, kehilangan dan kesedihan yang terpatri. Mungkin, keabadian adalah anugerah sekaligus kutukan. Aku tidak memiliki jawaban yang pasti, tetapi aku terus mencari makna dalam setiap langkah yang aku ambil."

"Namun perlu di ingat, kehidupan panjang bukan berarti tanpa beban," lanjutnya dengan nada yang berat, Setiap waktu yang berlalu, setiap orang dekat yang hilang, adalah luka yang sulit untuk disembuhkan. Itu adalah nilai yang harus aku bayar untuk tetap hidup dan bertahan dari takdir berat yang membawaku."

Hiraeth tersenyum tipis, "Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Namun, untuk saat ini, aku hanya bisa menawarkanmu kisah-kisahku—kisah yang datang dari masa lalu, bagian dari sejarah yang aku bagikan kepadamu. Kisah-kisah yang mungkin bisa memberikanmu inspirasi, hiburan, atau bahkan penghiburan di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, dan dalam setiap kisah yang aku ceritakan ada serpihan jiwa dari para pemimpin yang bijaksana, serta para kesatria pemberani yang tidak akan hilang, orang-orang yang perlu kamu kenang."

Hiraeth mengakhiri jawabannya dengan pandangan yang penuh arti. Pria itu terdiam, merenungkan kata-kata Hiraeth. Meskipun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, dia merasa ada kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata bijaksana Hiraeth. Mungkin, kebenaran sejati tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika, tetapi harus dirasakan dengan hati.

Sekelompok penduduk kota Canias yang mendengar pun ikut terdiam, terpesona oleh kisah dan apa yang dikatakan oleh Hiraeth. Dalam heningnya malam berbintang, mereka merasakan kebijaksanaan dari sosok seorang pengembara abadi yang telah melalui begitu banyak perjalanan, yang membawakan cahaya dan harapan dalam setiap kisah yang dia tulis dan ceritakan kepada setiap orang, kisah indah yang memberikan warna bagi yang mendengar dan membacanya.

[Cerpen] Kisah Abadi di Kota Canias

[Cerpen] Kisah Abadi di Kota Canias

Beatiful city fron Unsplash
Photo by Jr Korpa on Unsplash

Di kota canias yang tenang, di mana waktu terasa berjalan dengan kecepatannya sendiri, hiduplah sosok seorang lelaki misterius yang biasa dipanggil Hiraeth. Tidak ada yang banyak mengetahui tentangnya, bahkan nama aslinya. Dia bukan manusia biasa; dia telah hidup di bumi lebih dari umur kota Canias itu sendiri, selama ribuan tahun, penjaga dari begitu banyak kenangan, dan pengalaman yang tak terhitung jumlahnya. Dia sang ahli sihir, dengan kemampuannya yang sudah tidak dapat diragukan lagi. Dengan wajah awet mudanya yang menyimpan kebijaksanaan berabad-abad, dan mata yang berbinar menyimpan rahasia waktu. Hiraeth telah menjelajahi dunia, menyaksikan bangkit dan jatuhnya kerajaan, kelahiran, dan kepunahan peradaban. Dia telah melihat keindahan kemanusiaan dan kegelapan yang mengintai di dalamnya. Setelah ribuan tahun berlalu, Hiraeth memutuskan sudah waktunya memulai tujuan baru, sesuatu yang akan mengisi kekosongan besar yang telah diukir oleh waktu dalam jiwanya.

Suatu hari, saat sinar matahari pagi menyinari alun-alun kota, Hiraeth berjalan dengan langkah yang tenang. Suara riuh orang-orang beraktivitas menyambutnya, tetapi pikirannya sibuk dengan refleksi tentang perjalanan hidupnya yang masih panjang. Di tengah keramaian, matanya tertuju pada sebuah tempat penerbitan sekaligus toko buku kecil yang berada di sudut jalan. Sebuah tanda bertuliskan, 'Perhatian! Dicari: Penulis Tekun, Penuh Imajinasi.' terpampang di jendela toko itu. Percikan inspirasi muncul dalam dirinya. Terpikir olehnya barangkali kata-kata tertulis itu dapat menjadi kanvas untuknya melukiskan perjalanan hidup yang panjang dan luar biasa.

Hiraeth berhenti sejenak, merenung. Mungkin inilah kesempatan yang dia cari selama ini—media untuk membagikan pengetahuannya yang luas, dan pengalaman serta kenangan yang telah ia kumpulkan selama ribuan tahun yang dapat di untai menjadi kisah-kisah yang akan memikat pikiran serta hati penduduk kota Canias. Dengan keteguhan hati serta semangat baru, dia melangkah masuk ke dalam toko.

Pemilik toko, seorang wanita baik hati bernama Salya, menyambutnya dengan senyuman hangat. Mata mereka bertemu, dan Salya menemukan kedalaman dalam tatapan Hiraeth, seolah-olah dia bisa melihat sekilas sejarah panjang yang tersembunyi dibalik mata lelaki itu—tentang pengalaman panjang di luar batasan imajinasi. Tanpa ragu, Hiraeth bertanya mengenai pekerjaan itu, dan Salya, tertarik oleh auranya yang misterius, menyambutnya dengan terbuka. Dia menyiapkan meja tulis kecil di sudut ruang toko yang nyaman, dengan pena bulu angsa yang halus dan kertas sederhana, dia mulai menulis.

Saat tersiar kabar tentang penulis misterius di Canias, warga kota yang penasaran mulai berbondong-bondong membaca karya Hiraeth. Kisah yang ditulisnya tidak seperti kisah manapun yang pernah mereka baca—dipenuhi dengan kebijaksanaan, dilukis dengan warna berabad-abad yang lalu, dan dipenuhi dengan keajaiban abadi yang beresonasi di setiap pembaca. Kota yang tenang itu terpesona oleh kisah-kisahnya.

Tulisan Hiraeth menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini, menghubungkan tiap generasi dengan untaian benang sejarah. Canias menjelma menjadi tempat dimana gema masa lalu berdampingan secara harmonis dengan gema kehidupan modern. Kata-katanya mengalir bagai sungai, kisah yang dia tulis sangat bervariasi dari petualangan epik di negeri nun jauh, pengungkapan misteri, hingga kisah cinta dan kehilangan yang mengharukan. Tulisan Hiraeth melampaui batas waktu, membuat pembaca terpesona dan terinspirasi. Memiliki kata berbobot ribuan tahun akan tetapi tetap segar selayaknya embun fajar. Penduduk kota berkumpul di toko buku, ingin membaca serta mendengarkan cerita secara langsung yang dikisahkan oleh pendongeng awet muda tersebut.

Namun, tidak setiap hari dipenuhi dengan inspirasi yang mengalir dan lancar. Di sudut ruang yang biasanya dipenuhi dengan suara pena yang berdenting dan kertas yang berbisik, Hiraeth duduk termenung, pena bulu angsanya tergenggam erat, tintanya pun mengering di ujung, seolah enggan melanjutkan kisah yang penuh dengan rasa sakit.

"Kematian," dalam renungan ia berbisik pelan, "adalah satu-satunya kepastian yang tidak pernah bisa aku alami. Aku telah melihatnya dalam berbagai bentuk—cepat dan tanpa rasa sakit, lambat dan penuh penderitaan, tiba-tiba dan tak terduga. Setiap kematian meninggalkan jejak, tak hanya pada yang pergi tetapi juga pada yang ditinggalkan. Mereka yang mati mungkin menemukan kedamaian, tetapi bagi kami yang tinggal, kami harus menanggung, rasa kehilangan yang mendalam."

Di saat menulis ada kalanya Hiraeth terjebak dalam pusaran kenangan yang melukai. Ribuan tahun kehidupan telah memberinya banyak kisah indah, tetapi juga menyimpan luka yang tak lekang oleh waktu. Ketika kenangan akan cinta yang hilang, perang yang menghancurkan, dan kehilangan yang mendalam datang menghujam. Mata yang biasanya berbinar, kini redup, terhalang oleh bayang bayang masa lalu yang tidak ingin dia ingat.

Dia menghela napas panjang dan kembali berbisik pada dirinya, "Mungkin, dalam kematian, ada jawaban yang aku cari. Sebuah akhir dari perjalanan panjang yang tampaknya tak berujung. Namun, aku tidak pernah tahu. Bagiku, hidup adalah satu-satunya jalan, dan aku harus menemukan makna di dalamnya, meskipun itu berarti menyaksikan kematian berulang kali."

Salya, yang lewat dengan tumpukan buku baru, memperhatikan dan menyadari ada perubahan dalam diri Hiraeth. Dia melihat kesedihan terpancar dari matanya dan kegelisah yang tergambar di wajahnya. Dengan lembut, salya meletakkan buku-buku itu, dan mendekati Hiraeth.

Hiraeth mengangkat kepalanya, mencoba tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. "Terkadang, aku merasa kenangan itu seperti beban yang tak terhentikan, seperti angin kencang yang tak pernah berhenti," Hiraeth berkata, "Mereka menerjang dan meninggalkan ku terhuyung, bahkan ketika aku berusaha untuk tetap berdiri. Sesaat setelah itu membuatku terjatuh dan tersesat dalam perjalanan di antara labirin waktu, Setiap kenangan adalah sebuah ruang yang dikunjungi dalam labirin tersebut, tetapi aku tidak pernah dapat tinggal."

"Kadang kala, kenangan tentang mereka yang telah pergi tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan kenangan indah pun bisa menjadi beban yang berat," ujar salya dengan suara lembut, "Tapi bukankah itu juga keindahan dalam perjalanan? Kita mungkin merasa tersesat, tetapi sebenarnya kita selalu dalam perjalanan menuju penemuan baru. Dan bagi yang telah tiada, mereka hidup dalam setiap kisah yang kamu ceritakan, dalam pelajaran yang kamu bagikan, dan dalam cinta yang kamu sebarkan kepada dunia. Ingatlah Hiraeth, kita semua membawa luka masa lalu, tapi kita juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkannya. Kenangan dapat menjadi sumber kekuatan."

Kata-kata salya menyentuh hati Hiraeth. Dia menyadari kebenaran dalam kata-kata Salya, bahwa dia tidak perlu menanggung beban masa lalu.

"Mungkin itulah yang bisa aku lakukan," Hiraeth berkata dengan pelan, "Menceritakan kisah mereka, menjaga kenangan tetap hidup. Dalam setiap cerita yang aku tulis, aku memberikan serpihan jiwa dari mereka yang telah pergi. Dengan cara itu, mereka mungkin tidak pernah benar-benar mati. Setiap kenangan, setiap pengalaman, adalah batu loncatan menuju pemahaman yang lebih besar tentang apa artinya hidup. Aku menemukan jalan pulangku sendiri. Bukan ke tempat atau waktu, tetapi ke hati orang-orang yang membaca ceritaku."

Salya membalas perkataannya, "Kamu benar, kamu telah berbagi kisah, kisah yang sangat berarti bagi semua. Kisah yang akan menuntun setiap orang dalam kehidupannya. Dan itu dapat menuntunmu untuk pulang ke dalam setiap hati orang yang membaca ceritamu."

Dengan dukungan Salya, dia menemukan kembali penghiburan dalam tindakan penulisan. Setiap kata yang dia tulis merupakan sapuan kuas di kanvas eksistensinya, sebuah cara untuk mengabadikan kenangan yang terancam memudar seiring berjalannya waktu. Penduduk kota yang terpikat oleh narasinya, merasa seolah-olah sedang melihat sekilas kedalam permadani sejarah itu sendiri.

Namun, Hiraeth tetap menjadi sosok misteri bagi masyarakat Canias. Dia berbicara tentang masa lalu dengan begitu pekat yang hanya dimiliki seseorang yang pernah hidup melaluinya. Penduduk kota Canias meski terpesona, tidak dapat begitu memahami kebenaran lebih dalam dari pengalamannya.

Sebagai sedikit gambaran tentang pengalamannya, di dalam salah satu buku nya Hiraeth menulis "Di dalam kisah hidup, kita tidak bisa melewati setiap chapter begitu saja, karena bukan begitu kisah dalam hidup berjalan. Kita harus membaca setiap baris, untaian kata demi kata, bertemu setiap karakter, akan ada perpisahan dengan karakter yang kita sukai. Mungkin kita tidak akan menikmati semua itu. Beberapa chapter mungkin akan membuat kita bersedih cukup lama. Kita akan membaca halaman-halaman yang tidak ingin dibaca. Kita akan menemukan halaman indah yang dipenuhi kebahagiaan serta keceriaan, halaman indah yang tidak ingin kita akhiri. Tetapi kisah tersebut harus tetap berjalan, kita harus tetap mengikutinya, tetap membalik halaman demi halaman untuk maju. Kisah setiap orang membuat dunia terus berputar. Kisah hidup yang saat ini kita miliki, jangan dilewatkan. Masih banyak halaman kosong yang perlu di isi oleh kisah hidup kita. Nikmatilah setiap kisah yang akan datang dalam hidup."

Suatu malam, ketika Hiraeth sedang duduk di keremangan toko buku dengan aroma buku tua yang memikat, diantara cahaya lilin yang berkedip-kedip seorang lelaki tua mendekati dengan mata seolah mengenalnya. "Aku sudah mendengar kisahmu," bisik lelaki tua itu, "Aku mengenali gema dari masa lalu. siapa kamu sebenarnya?"

Hiraeth tersenyum, sekilas ekspresi sedih melintasi wajahnya. "Aku hanyalah seorang pengembara, yang mengembara melalui koridor waktu, mencari makna dalam alirannya menjadikannya kisah yang akan aku ceritakan. Pada akhirnya kisah itulah yang mendefinisikan siapa kita, dan di dalamnya, aku menemukan tujuan."

Seiring pergantian musim dan tahun demi tahun, Hiraeth terus membagikan kisahnya kepada Canias. Kisah-kisahnya menjadi bagian penting dari identitas kota, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lelaki misterius yang telah hidup ribuan tahun telah menemukan panggilan sejati baginya, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada kota dan penduduknya, dengan buku berisi kisah yang berumur panjang layaknya sang penulis kisah-kisah itu sendiri.

Maka, dijantung kota Canias, Hiraeth terus menulis, pena bulu angsanya menari-nari di atas kertas, menganyam kisah-kisah yang dapat melampaui batas waktu. Penduduk kota Canias mungkin tidak pernah sepenuhnya memahami kedalaman eksistensinya, namun dalam setiap kisahnya mereka menemukan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri—Sebuah bukti hidup akan keajaiban yang dihasilkan oleh kehidupan selama ribuan tahun dalam seni bercerita, ribuan tahun kehidupan yang dijalani dengan baik.